Minggu, 10 September 2017

PERIKATAN DAN PERJANJIAN (Al- Uqud)



PERIKATAN DAN PERJANJIAN (Al- Uqud)



Makalah Fikih Muamalah


Disusun Oleh :

Nama                                      Nim

LISTON LIMBONG    1530400002

Dosen Pembimbing

ZILFARONI, S.Sos.I., M.A.



JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN PADANGSIDIMPUAN
T.A 2017
Kata Pengantar
Segala puji dan rasa syukur semata-mata hanyalah kepada tuhan yang maha esa, yang telah memberikan petunjuk dan melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada kita, khususnya penulis, sehingga dapat menyelesaikan “PERIKATAN DAN PERJANJIAN (Al- Uqud)
Terima kasih yang paling mendalam penulis sampaikan kepada semua pihak dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan dan selalu mengiringi penulis dengan doa. Semoga laporan ini bisa bermanfaat dan menjadi sebuah cerminan bagi kita semua anak-anak bangsa yang ingin terus menggapai cita-citanya seindah harapan hidupnya.
Demikianlah makalah ini diperbuat oleh penulis, barangkali masih terdapat kemungkinan besar bahwa dalam penyusunan laporan ini penulis tentunya masih terdapat kekurangan disana-sini mengingat kemampuan dan keterbatasan. Karena itu penulis berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan dan perbaikan laporan ini, atas perhatiannya di sampaikan banyak terima kasih.

Padangsidimpuan,    September  2017

Penyusun







DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................   i
Daftar Isi....................................................................................................................   ii
Latar belakang............................................................................................................   1
Perikatan Dan Perjanjian (al- uqud)...........................................................................   2
Asal Usul Akad..........................................................................................................   2
Pengertian Akad........................................................................................................   3
Rukun Rukun Akad...................................................................................................   5
Syarat-Syarat Akad....................................................................................................   7
Macam-Macam Akad.................................................................................................   9
Pengertian Dan Macam- Macam Khiar......................................................................   12
Konsekensi Hukumnya..............................................................................................   14
Penutup......................................................................................................................   16     
Daftar Pustaka...........................................................................................................   17











LATAR BELAKANG
                 Dilihat dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari bermacam-macam sumber dinamakan hukum perikatan. Sedangkan hukum perjanjian adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
                 Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya.
Perjanjian jugamerupakan suatu dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian kita. Melalui akad seoranglelaki disatukan dengan seorang wanita dalam suatu kehidupan bersama, dan melalui akad juga berbagai kegiatan bisnis dan usaha dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yangtidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapatdibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan olehperadaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai mahluk sosial.Kenyataan ini menunjukkan bahwa betapa kehidupan kita tidak lepas dari apa yangnamanya perjanjian, yang memfasilitasi kita dalam memenuhi berbagai kepentingan kita.Mengingat betapa pentingnya akad(perjanjian), setiap peradaban manusia yang pernah munculpasti memberi perhatian dan pengaturan terhadapnya.
Demikian halnya dengan agama Islam,yang memberikan sejumlah prinsip dan dasar-dasar mengenai pengaturan perjanjiansebagaimana tertuang dalam Al-quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Dasar-dasar inikemudian dikembangkan oleh ahli-ahli hukum islam dari abad ke abad sehingga membentuk apa yang kini disebut perjanjian syariah atau lebih khusus terhadap akad dalam pembahasan makalah ini.




PERIKATAN DAN PERJANJIAN (Al- Uqud)
Dalam al-Qur’an, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-’aqdu (akad) dan al-’ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.[1]
A.    Asal Usul Akad
Aqad Adalah bagian dari macam-macam tasharruf yang di maksud dengan tasharruf ialah :
“Segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa haknya.”
Tasharruf terbagi dua, yaitu tasharruf fi’li dan tasharruf qauli.
1)      Tasharruf fi’li
Usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain lidah, misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli, merusakkan benda orang lain.
2)      Tasharruf qauli
Tasharruf yang keluar dari lidah manusia, tasharruf qauli terbagi dua yaitu:
a.       Tasharruf qauli ‘aqdi
“Sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan kedua belah pihak yang saling berkaitan.”
Contoh : jual beli, sewa-menyewa, dang perkongsian.
b.      Tasharruf qauli bukan ‘aqdi
1.      Merupakan pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, talak, dan memerdekakan.
2.      Tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak, misalnya gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan, jenis yang kedua ini tak ada aqad, tetapi semata perkataan.
B.     Pengertian Akad
Kata akad berasal bahasa Arab al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, persetujuan dan permufakatan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ).
Secara istilah fiqh, akad didefinisikan dengan : Pertalian ijab(pernyataan melakukan ikatan) dan kabul(peryataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan. Pencantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata-kata “berpengaruh kepada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak(yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan kabul).[2]
            Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah: “ perikatan ijab kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak”.
            Adapula yang mendefinisikan, akad ialah: “Ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak.”.[3]
Menurut syamsul anwar, akad adalah, “pertemuan ijab dan Kabul sebagai penyataan
kehendak dua pihak atau lebih untuk mlahirkan suatu akibat hukum
 pada objeknya.”
Akad merupakan keterkaitan ataupertemuan ijab dan Kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaranyang di ajukan oleh salah satu pihak, dan Kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikanmitra akad sebagai tanggapan tehadap penewaran pihak pertama. Akad tidak terjadi apabilapernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena akad adalahketerkaitan kehendak kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.
Akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijabyang merepresantasikan kehendak dari suatu pihak dan Kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.[4]
Dapat disimpulkan Akad ialah pertalaian ijab (ungkapan tawaran disatu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak lain) yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak.
Dasar hukum dilakukannya akad dalam Al-Qur’an adalah Surat Al-Maidah ayat yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu "
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu hukumnya wajib.
Perjanjian atau kontrak dalam istilah hukum Islam biasa disebut dengan “akad”. Kata
aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat.
1)      Secara etimologi, akad berarti ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Semua perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak bileh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.[5]
2)      Ikhwan Abidin Basri dalam artikelya yang berjudul, “Teori Akad Dalam Muamalah” memberikan definisi akad sebagai berikut:
Akad adalah ikatan antara ijab dan Qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah dimana terjadi konsekwensi hukum atas sesuatu yang karenanya akan diselenggarakan.Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qobul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya.[6]
3)      Sementara dalam terminologi ulama fiqih akad dapat ditinjau dari dua sisi yakni umum dan khusus.
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama syafi’iyyah, Malikiyah dan Hanafiyah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.  Sementara pengertian akad dalam arti khusus perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.
Menurut ulama Mazhab az-Zahiri semua syarat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad, apabila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah adalah batal. Sedangkan menurut Jumhur ulama fiqih, pada dasarnya pihakpihak yang berakad itu mempunyai kebebasan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri dalam suatu akad. Namun, hendaknya diingat, bahwa kebebasan menentukan syaratsyarat dalam akad tersebut, ada yang bersifat mutlak, tanpa batas selama tidak ada larangan di dalam al-Quran dan Sunnah.[7]

C.     Rukun Rukun Akad
Rukun-Rukun Akad sebagai berikut:
1.      ‘Aqid, adalah orang yang berakad (subjek akad); terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang.
2.      Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad), seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau pemberian, gadai, dan utang.
Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a.       Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
b.      Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
c.       Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d.      Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e.       Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3.      Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan di beri ganti.
4.      Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad, misalnya yang berlangganan majalah, pembeli mengirim uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari kantor pos.[8]

Dalam ijab kabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut:
a)      Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b)      Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul
c)       Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukan penolakan dan pembatalan dari keduanya.
d)     Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena di ancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan.
Ijab kabul akan dinyatakan batal apabila :
a)      Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat kabul dari si pembeli.
b)      Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c)      Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan kabul dianggap batal.
d)     Kedua pihak atau salah satu, hilang kesepakatannya sebelum terjadi kesepakatan.
e)      Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya kabul atau kesepakatan.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad,[9] yaitu :
a)      Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua ‘aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar inilah para ulama membuat kaidah: “Tulisan itu sama dengan ucapan”.
b)      Isyarat. Bagi orang-orang tertentu akad tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut: “Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah”.
D.    Syarat-Syarat Akad
Para ulama fiqh menetapkan, ada beberapa syarat umum yang arus dipenuhi dalam suatu akad, disamping setiap akad juga mempunyai syarat-syarat khusus.
Syarat-syarat umum suatu akad adalah :
a)      Pihak-pihak yang melakukan akad dipandang mampu bertindak menurut hokum (mukallaf). Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan oleh orang yang kurang waras (gila) atau anak kecil yang belum mukallaf secara langsung, hukumnya tidak sah
b)      Obyek Akad, diakui syara’. Obyek akad harus memenuhi syarat :
1)      Berbentuk harta
2)      Dimiliki seseorang
3)      Bernilai harta menurut syara’
Dengan demilian, yang tidak bernilai harta menurut syara’ tidak sah seperti khamar (minuman keras.
Disamping itu, Jumhur fukaha selain ulama Mazhab Hanafi mengatakan, bahwa barang najis seperti anjing, babi, bangkai, dan darah tidak boleh dijadikan obyek akad, karena barang najis tidak bernilai menurut syara.
Menurut mustafa az-Zarqa harta waqaf pun tidak dapat dijadikan sebagai obyek akad. Sebab harta wakaf bukanlah hak milik yang dapat diperjualbelikan. Harta wakaf adalah hak milik bersama kaum muslimin, bukan milik pribadi seseorang. Dengan demikian, harta wakaf sebagai obyek jual beli tidak sah. Lain halnya menurut Mustafa az-Zarqa’ sewa menyewa
harta wakaf diperbolehkan,karena harta wakaf itu tidak berpindah tangan secara penuh kepada pihak penyewa. Obyek akad juga harus ada dan dapat diserahkan ketika berlangsung akad, karena memperjualbelikan sesuatu yang belum ada dan tidak mampu diserahkan hukumnya tidak sah.
Contohnya seperti menjual padi yang belum berbuah, menjual janin yang masih dalam kandungan.
Menurut fukaha, ketentuan diatas tidak berlaku terhadap ‘aqd salam (indent), istishna’ (pesanan barang), dan musaaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengolahnya). Pengecualiaan ini dibenarkan atas dasar,bahwa akad- akad semacam itu dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat kebiasaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat.
c)      Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’.Atas dasar ini, seorang wali (pemelihara anak kecil), tidak dibenarkan menghibahkan harta anak kecil tersebut. Seharusnya harta anak kecil itu dikembangkan , dipelihara, dan tidak diserahkan kepada seseorang tanpa ada imbalan (hibah). Apabila terjadi akad, maka akad itu akan batal menurut syara’.
d)     Akad yang dilakukan itu mememunuhi syarat- syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat-syarat umum. Syarat-syarat khusus, umpamanya: syarat jual- beli berbeda dengan syarat sewa menyewa dan gadai.
e)      Akad itu bermanfaat.
f)       Ijab tetap utuh smpai terjadi kabul.
g)      Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi.
Syarat-Syarat Akad sebagai berikut:
1.      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di pengampuan , dan karena boros.
2.      Yang di jadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
4.      Janganlah akad  itu akad yang dilarang oleh syara’ , seperti jual beli mulasamah. Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbalan amanah (kepercayaan).
5.      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.
6.      Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.[10]

E.     Macam-Macam Akad
Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad yang didasarkan atas sudut pandang masing-masing, yaitu:
1.      Berdasarkan ketentuan syara’
a.       Akad sahih, yaitu akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan syarat sebagaimana telah disebutkan di atas, maka akad tersebut masuk dalam kategori akad sahih. akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang berakad.
b.      Akad ghairu sahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehinga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
Dengan demikian, akad semacam ini tidak berdampak hukum atau tidak sah.
Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan antara akad fasid dan akad batal, dimana ulama jumhur tidak membedakannya. Akad batal adalah akad yang tidak memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad yang dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasid adalah akad yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara’, seperti menjual narkoba, miras dan lain-lain.
2.      Berdasarkan penamaannya, dibagi menjadi:
a.         Akad yang sudah diberi nama oleh syara’, seperti jual-beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b.         Akad yang belum dinamai oleh syara’, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3.      Berdasarkan zatnya, dibagi menjadi:
a.       Benda yang berwujud (al-‘ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh indra kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.
b.      Benda tidak berwujud ( ghair al-‘ain), yaitu benda yang tidak dapat kita indra dengan indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan, seperti informasi, lisensi, dan lain sebagainya.[11]
Berakhirnya Akad
1.       Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2.       Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.       Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
a)      Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
b)      Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c)      Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
d)     Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
4.      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
Hikmah Akad
a)      Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
b)      Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
c)      Akad merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.[12]
Tujuan Akad
Kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dalam keadaan sehat akal dan bebas menentukan pilihan (tidak dipaksa) pasti memiliki tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan perbuatan itu. Oleh Karen aitu, tujuan akad menduduki peranan penting untuk menentukan suatu akad dipandang sah atau tidak, halal atau haram. Ini semua berkaitan dengan hubungan niat dan perkataan dalam akad. Bahkan perbuatan perbuatan bukan akad pun dapat dipengaruhi halal dan haramnya dari tujuan yang mendorong perbuatan itu dilakukan. Misalnya, tidur siang, apabila motifnya adalah agar pada malam harinya tahan tidak tidur untuk bermain judi, maka tidur siang itu menjadi haram.[13]
Masalahnya adalah, jika suatu tindakan tidak mempunyai tujuan yang jelas, apakah tindakan tersebut tidak mempunyai akaibat hukum? Misalnya, seseorang berjanji akan memberikan sesuatu kepada orang lain, apakah janji itu mempunyai akibat hukum, dengan pengertian orang itu dapat dituntut untuk memenuhi janjinya?. Dalam masalah seperti ini, pendapat Fuqaha’ bermacam-macam, ada yang mengatakan mempunyai akibat hukum, seperti Ibnu Syubrumah yang mengartakan bahwa semua janji mempunyai akibat hukum, orang yang berjanji dapat dipaksa untuk memenuhinya. Menurut pendapat kebanyakan Fuqaha’, janji yang tidak jelas tujuannya itu tidak mempunyai akibat hukum duniawi, meskipun akan diperhitungkan di hadapan Allah di akhirat kelak.
Hal tersebut berbeda dengan janji yang tujuannya jelas. Misalnya, apabila seseorang menyuruh orang lain untuk memberikan suatu barang kepada seseorang, dengan ketentuan apabila orang yang menerima barang tidak mau membayar harganya, oaring yang menyurh itu bejanji akan membayarnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan akad memperoleh peran
yang amat penting, apalagi dalam hal muamalat/bisnis. Tanpa ada tujuan yang
jelas, secara otomatis tidak ada yang dapat dilakukan dari terbentuknya akad
tersebut. Sehingga akad tersebut dipandang tidak sah dan tidak memiliki
konsekuensi hukum. Dari sini, diperlukan adanya syarat-sayarat tujuan akad
sebagai berikut:
1.      Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yag bersangkutan tanpa akad yang diadakan.. tujuannya hendaknya baru ada padasaat akad diadakan.
2.      Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad. Misalnya akad untuk menyewa rumah selama lima tahun untuk diambil manfaatnya. Jika belum ada lima tahun rumah itu telah hancur maka akadnya menjadi rusak karena hilamgnya tujuan yang hendak dicpai.
3.      Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara’. Jadi tidak boleh melakukan akad dengan tujuan yang melanggar ketentuan agama. Misalnya akad untuk melakukan patungan uang sebagai modal bisnis sabu-sabu.

F.      Pengertian Dan Macam- Macam Khiar
1.        Pengertian Khiar
Menurut kamus besar bahasa arab al-munawwir, kata-kata khiyar dapat di jumpai dengan kata-kata “الحيار ولاختيار ‘’ artinya pilihan. Sedangkan ‘’ حر ية ‘’ artinya kebebasan memilih dan ‘’احتيارا  ‘’ dengan kemauan sendiri serta ‘’ artinya kebaikan dikiuti kata-kata “ الخيرية ‘’ berdasarkan kemauan sendiri.
Jadi khiyar secara bahasa dapat diartikan ‘’pilihan, kebebasan memilih, kemauan sendiri, kebaikan, berdasarkan kemauan sendiri.
Sedangkan menurut istilah yang disebutkan didalam kiitab fiqih islam yaitu ‘’khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan aqad jual beli atau di urungkan, (ditarik kembali tidak jadi jual beli).
Diadakannya khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli agar dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh. Supaya tidak terjadi penyesalan di kemudia hari, lantaran merasa tertipu.
Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan:
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْخِيَارُبَيْنَ إِمْضَاءِ الْعَقْدِ وَعَدَمِ إِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رفقا لِلْمُتَعَا قِدَيْنِ
Artinya : hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Pendapat Ahli Fiqih
a.       Menurut ulama fiqih pengertian khiyar yaitu

انيكون للمتعاقدالحق في امضاء العقد او فسخه ان كا ن الخيار شرط اورءسة او عيب                                    او ان يختاراحد البيعين ان كان الخيارخيار ثعيين
Artinya sesuatu keada yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan aqadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.’
b.      Menurut dr. H. Hendi suhendi, m.si.
Yatiu menurut agama islam di bolehkan memilih atau melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
c.       Menurut asy-syekh muhammad bin qosim al-ghozali
Khiyar adalah bagi penjual dan pembeli ada hak khiyar (memilih) antara meneruskan atau membatalkan jual belinya.
Maksudnya yaitu bagi penjual dan pembeli ada hak tetap untuk memilih beberapa macam aqad jual beli di tempatnya (khiyar majlis) seperti pesanan (salam), selama keuanya belum terpisah artinya suatu masa tidak terpisah kedua belah pihak menurut kebiasaan.
d.      Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah
Sedangkan pengertian khiyar menurut kompilasi hukum ekonomi syariah (khes) pasal 20 (8) adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukannya.
2.      Macam- macam Khiar
a)      Khiyar Syarat
Yaitu mengadakan khiyar dengan mengambil batas waktu satu, dua atau tiga hari atau mungkin lebih sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Maka jika telah habis waktunya maka gugurlah dan jual belinya dianggap positif, tidak bisa dibatalkan lagi. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW;
عن ابن عمر ان النبي صلى الله عليه وسلم قال:كل بيعين لا بيع بينهما حت يتفرقا الابيع الخيار.
Dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “setiap penjual dan pembeli tidak ada jual beli di antara mereka sampai keduanya berpisah kecuali khiyar.”
Hadits ini menunjukkan selama belum berpisah keduanya, maka masih bisa membatalkan jual belinya, kecuali jika ada khiyar, termasuk waktu tertentu yang disepakati kedua belah pihak.
b)      Khiyar masyru’ (disyari’atkan) dan khiyar rusak
1.      Khiyar masyru’
Yaitu khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. tentang riwayat Hibban Ibn Munqid yang menipu dalam jual-beli, kemudian perbuatannya itu dilaporka kepada Rasulullah SAW ., lalu beliau bersabda:
اذابايعت فقل: لاخلابةولى الخيار ثلاثة ايام.
“jika kamu bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari” (HR. Muslim)
2.      Khiyar rusak
Menurut pendapat paling masyhur dikalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan “saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar selamanya.” Perbuatan ini mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan).
c)      Khiyar Majlis
Khiyar majlis yaitu memilih antara jadi dan tidak selama masih dalam satu majlis, sebagaimana dalam hadits dinyatakan:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا...
“si penjual dan pembeli boleh mengambil khiyar selama keduanya belum berpisah.”
Maksudnya, jika sudah berpisah maka tidak ada khiyar, sedangkan ukuran majlisnya itu relatif, bisa kecil seperti keluar dari rumah, bisa lebih besar seperti keluar dari toko atau mall.

G.    Konsekensi Hukumnya
Hukum akad pada masa khiyar
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
Adapun menurut ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.[14]
Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak penjual. Jika khiyar syarat berasal dari penjual dan pembeli, ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar).
Adapun menurut ulama Hanabilah, dari siapapun khiyar berasal, barang tesebut menjadi milik pembeli. Jual-beli dengan khiyar, sama seperti jual-beli lainnya, yakni menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka mendasarkan pada hadits Nabi SAW. dari Iibn Umar:
من باع عبدا وله مال فماله للب ئع الا ان يشترط المبتاع
“barang siapa yang menjual hamba yang memiliki harta, maka harta tersebut milik penjual, kecuali pembeli memberikan syarat.”
Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW. menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli dengan adanya syarat.














                                                            PENUTUP

Dapat disimpulkan Akad ialah pertalaian ijab (ungkapan tawaran disatu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak lain) yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak.
Dasar hukum dilakukannya akad dalam Al-Qur’an adalah Surat Al-Maidah ayat yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu "
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu hukumnya wajib.
Tujuan akad menduduki peranan penting untuk menentukan suatu akad dipandang sah atau tidak, halal atau haram. Ini semua berkaitan dengan hubungan niat dan perkataan dalam akad. Bahkan perbuatan perbuatan bukan akad pun dapat dipengaruhi halal dan haramnya dari tujuan yang mendorong perbuatan itu dilakukan. Misalnya, tidur siang, apabila motifnya adalah agar pada malam harinya tahan tidak tidur untuk bermain judi, maka tidur siang itu menjadi haram.
















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010)
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010)
Ahamd Azar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat,( Yogyakarta: UII Press, cet. Ke-2, 2004)
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Kencana:2010)
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002)
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003)
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2006)
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, (Bandung:  SINAR BARU ALGENSINDO. Bandung, 2006)
Syamsul anwar, hukum perjanjian syari’ah (jakarta : garafindo, 2007)



[1]Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 75
[2]Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 51.
[3]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 15.
[4]Syamsul anwar, hukum perjanjian syari’ah (jakarta : garafindo, 2007), hlm 68.
[5]Ibid
[6]M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 101.
[7]Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2006, hlm. 43.
[8]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Kencana:2010), hlm.51.
[9]Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 30.
[10]Abdul Rahman Ghazaly, et.al,  op.cit., hlm. 55.
[12]Ahamd Azar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat,( Yogyakarta: UII Press, cet. Ke-2, 2004), hlm. 78-82.
[13]Ibid,hlm. 96-97
[14]Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, (Bandung:  SINAR BARU ALGENSINDO. Bandung, 2006), hlm. 112.

5 komentar:

  1. ASSALAMUALAIKUM SAUDARA?
    COBA SAUDARA BERIKAN CONTOH AKAD SOHIH DAN AKAD GHORUL SOHIH DAN BERIKAN PENJELASANNYA DENGAN SINGKAT

    BalasHapus
  2. assalamu alaikum akhi, disini Ana ingin memberikan pertanyaan,Seharusnya harta anak kecil itu dikembangkan , dipelihara, dan tidak diserahkan kepada seseorang tanpa ada imbalan (hibah). Apabila terjadi akad, maka akad itu akan batal menurut syara’.harta anak kecil manakah yang di maksudkan coba jelaskan berikan contohnya , dan apakah anak kecil itu termasuk harta?

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. . Asslmu'alaikm.Wr.Wb
    Coba saudara jelaskn dalil yg menjelaskn tentg AKAD dan coba jelaskn macam-macam AKAD menurut para ahli secara singkat

    BalasHapus
  5. ASSALAMUALAIKUM Cuba saudara jelas perbedaan pendapat tentang akad bagi mujtahid 4

    BalasHapus