PERIKATAN DAN PERJANJIAN (Al- Uqud)
Makalah Fikih Muamalah
Disusun Oleh :
Nama Nim
LISTON LIMBONG 1530400002
Dosen Pembimbing
ZILFARONI, S.Sos.I., M.A.
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU
KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN PADANGSIDIMPUAN
Kata Pengantar
Segala puji dan rasa syukur semata-mata hanyalah kepada tuhan yang
maha esa, yang telah memberikan petunjuk dan melimpahkan rahmat, dan
hidayah-Nya kepada kita, khususnya penulis, sehingga dapat menyelesaikan “PERIKATAN DAN PERJANJIAN (Al- Uqud)”
Terima kasih yang paling mendalam penulis sampaikan kepada semua
pihak dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan dan selalu mengiringi
penulis dengan doa. Semoga laporan ini bisa bermanfaat dan menjadi sebuah
cerminan bagi kita semua anak-anak bangsa yang ingin terus menggapai
cita-citanya seindah harapan hidupnya.
Demikianlah makalah ini diperbuat oleh penulis, barangkali masih
terdapat kemungkinan besar bahwa dalam penyusunan laporan
ini penulis tentunya masih terdapat kekurangan disana-sini mengingat kemampuan dan
keterbatasan. Karena itu penulis berharap kepada para
pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan dan perbaikan laporan ini, atas perhatiannya di sampaikan banyak
terima kasih.
Padangsidimpuan, September
2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
Latar belakang............................................................................................................ 1
Perikatan Dan Perjanjian
(al- uqud)........................................................................... 2
Asal Usul Akad.......................................................................................................... 2
Pengertian Akad........................................................................................................ 3
Rukun
Rukun Akad................................................................................................... 5
Syarat-Syarat
Akad.................................................................................................... 7
Macam-Macam
Akad................................................................................................. 9
Pengertian Dan
Macam- Macam Khiar...................................................................... 12
Konsekensi
Hukumnya.............................................................................................. 14
Penutup...................................................................................................................... 16
Daftar Pustaka........................................................................................................... 17
LATAR BELAKANG
Dilihat
dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada
yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh
undang-undang. Bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari
bermacam-macam sumber dinamakan hukum perikatan. Sedangkan hukum perjanjian
adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur
perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
Apabila
dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu
berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk
melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian
timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya.
Perjanjian
jugamerupakan suatu dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian kita. Melalui
akad seoranglelaki disatukan dengan seorang wanita dalam suatu kehidupan
bersama, dan melalui akad juga berbagai kegiatan bisnis dan usaha dalam
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yangtidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa
bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapatdibenarkan bila dikatakan bahwa
akad merupakan sarana sosial yang ditemukan olehperadaban umat manusia untuk
mendukung kehidupannya sebagai mahluk sosial.Kenyataan ini menunjukkan bahwa
betapa kehidupan kita tidak lepas dari apa yangnamanya perjanjian, yang
memfasilitasi kita dalam memenuhi berbagai kepentingan kita.Mengingat betapa
pentingnya akad(perjanjian), setiap peradaban manusia yang pernah munculpasti
memberi perhatian dan pengaturan terhadapnya.
Demikian
halnya dengan agama Islam,yang memberikan sejumlah prinsip dan dasar-dasar
mengenai pengaturan perjanjiansebagaimana tertuang dalam Al-quran dan sunnah
Nabi Muhammad Saw. Dasar-dasar inikemudian dikembangkan oleh ahli-ahli hukum
islam dari abad ke abad sehingga membentuk apa yang kini disebut
perjanjian syariah atau lebih khusus terhadap akad dalam pembahasan makalah
ini.
PERIKATAN
DAN PERJANJIAN (Al- Uqud)
Dalam al-Qur’an, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berhubungan
dengan perjanjian, yaitu al-’aqdu (akad) dan al-’ahdu (janji).
Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth)
maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan
menjadi seutas tali yang satu.[1]
A.
Asal
Usul Akad
Aqad Adalah bagian dari macam-macam tasharruf
yang di maksud dengan tasharruf ialah :
“Segala yang keluar dari seorang
manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa haknya.”
Tasharruf terbagi dua, yaitu
tasharruf fi’li dan tasharruf qauli.
1)
Tasharruf
fi’li
Usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain
lidah, misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual
beli, merusakkan benda orang lain.
2)
Tasharruf
qauli
Tasharruf yang keluar dari lidah manusia, tasharruf qauli terbagi
dua yaitu:
a.
Tasharruf
qauli ‘aqdi
“Sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan kedua belah pihak yang
saling berkaitan.”
Contoh : jual beli, sewa-menyewa, dang perkongsian.
b.
Tasharruf
qauli bukan ‘aqdi
1.
Merupakan
pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, talak,
dan memerdekakan.
2.
Tidak
menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak,
misalnya gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan, jenis yang kedua ini tak
ada aqad, tetapi semata perkataan.
B.
Pengertian
Akad
Kata akad berasal bahasa Arab al-‘aqd yang berarti
perikatan, perjanjian, persetujuan dan permufakatan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan
antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan
hubungan ( الرّبْطُُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ).
Secara istilah fiqh, akad didefinisikan dengan
: Pertalian ijab(pernyataan melakukan ikatan) dan kabul(peryataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan.
Pencantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa
seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah
apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk
melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.
Adapun pencantuman kata-kata “berpengaruh kepada objek perikatan” maksudnya
adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak(yang melakukan ijab)
kepada pihak lain (yang menyatakan kabul).[2]
Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip
definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah: “ perikatan ijab kabul yang
dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak”.
Adapula yang mendefinisikan, akad
ialah: “Ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah
pihak.”.[3]
Menurut
syamsul anwar, akad adalah, “pertemuan ijab dan Kabul sebagai penyataan
kehendak dua pihak atau lebih untuk
mlahirkan suatu akibat hukum
pada objeknya.”
Akad
merupakan keterkaitan ataupertemuan ijab dan Kabul yang berakibat timbulnya
akibat hukum. Ijab adalah penawaranyang di ajukan oleh salah satu pihak, dan
Kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikanmitra akad sebagai tanggapan
tehadap penewaran pihak pertama. Akad tidak terjadi apabilapernyataan kehendak
masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena akad adalahketerkaitan
kehendak kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.
Akad
merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijabyang
merepresantasikan kehendak dari suatu pihak dan Kabul yang menyatakan
kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu
akibat hukum.[4]
Dapat disimpulkan Akad ialah pertalaian ijab
(ungkapan tawaran disatu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan
penerimaan oleh pihak lain) yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak.
Dasar hukum
dilakukannya akad dalam Al-Qur’an adalah Surat Al-Maidah ayat yang artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu "
Berdasarkan
ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu
hukumnya wajib.
Perjanjian
atau kontrak dalam istilah hukum Islam biasa disebut dengan “akad”. Kata
aqad dalam
istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat.
1) Secara
etimologi, akad berarti ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata
maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Semua
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak bileh menyimpang dan
harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk
menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan
untuk membunuh seseorang.[5]
2) Ikhwan
Abidin Basri dalam artikelya yang berjudul, “Teori Akad Dalam Muamalah”
memberikan definisi akad sebagai berikut:
Akad adalah ikatan antara ijab dan Qobul yang
diselenggarakan menurut ketentuan syariah dimana terjadi konsekwensi hukum atas
sesuatu yang karenanya akan diselenggarakan.Ijab adalah ungkapan atau ucapan
atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang memiliki
barang. Qobul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian
yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut
kepadanya.[6]
3) Sementara
dalam terminologi ulama fiqih akad dapat ditinjau dari dua sisi yakni umum dan
khusus.
Secara umum, pengertian akad dalam arti
luas hampir sama dengan akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama
syafi’iyyah, Malikiyah dan Hanafiyah yaitu segala sesuatu
yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf,
talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang
seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai. Sementara pengertian
akad dalam arti khusus perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan
ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.
Menurut ulama Mazhab az-Zahiri semua
syarat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad, apabila tidak
sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah adalah batal. Sedangkan menurut
Jumhur ulama fiqih, pada dasarnya pihakpihak yang berakad itu mempunyai
kebebasan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri dalam suatu akad. Namun,
hendaknya diingat, bahwa kebebasan menentukan syaratsyarat dalam akad tersebut,
ada yang bersifat mutlak, tanpa batas selama tidak ada larangan di dalam
al-Quran dan Sunnah.[7]
C. Rukun Rukun Akad
Rukun-Rukun Akad sebagai berikut:
1. ‘Aqid, adalah orang yang berakad
(subjek akad); terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang,
terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di
pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk
memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang.
2. Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda
yang akan diakadkan (objek akad), seperti benda-benda yang dijual dalam akad
jual beli, dalam akad hibah atau pemberian, gadai, dan utang.
Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a. Obyek
transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
b. Obyek
transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk
ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
c. Obyek
transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan
dikemudian hari.
d. Adanya
kejelasan tentang obyek transaksi.
e. Obyek
transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3. Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau
maksud mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam
akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual
kepada pembeli dengan di beri ganti.
4. Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul.
Ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak
yang akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk
menerimanya. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah
bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli
sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan
dua pihak yang melakukan akad, misalnya yang berlangganan majalah, pembeli
mengirim uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari
kantor pos.[8]
Dalam
ijab kabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh
menuliskannya sebagai berikut:
a) Adanya kejelasan maksud antara kedua
belah pihak.
b) Adanya kesesuaian antara ijab dan
kabul
c) Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua
belah pihak, tidak menunjukan penolakan dan pembatalan dari keduanya.
d) Menggambarkan kesungguhan kemauan
dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena di ancam
atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus
saling merelakan.
Ijab kabul akan dinyatakan batal apabila :
a) Penjual
menarik kembali ucapannya sebelum terdapat kabul dari si pembeli.
b) Adanya
penolakan ijab dari si pembeli.
c) Berakhirnya
majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah
dari majlis akad. Ijab dan kabul dianggap batal.
d) Kedua pihak
atau salah satu, hilang kesepakatannya sebelum terjadi kesepakatan.
e) Rusaknya
objek transaksi sebelum terjadinya kabul atau kesepakatan.
Mengucapkan
dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad,
tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para
ulama fiqh menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad,[9]
yaitu :
a) Dengan cara tulisan (kitabah),
misalnya dua ‘aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan kitabah.
Atas dasar inilah para ulama membuat kaidah: “Tulisan itu sama dengan ucapan”.
b) Isyarat. Bagi orang-orang tertentu
akad tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan, misalnya seseorang
yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak
pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab kabul dengan tulisan. Maka orang
yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan
ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat.
Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut: “Isyarat bagi orang bisu sama dengan
ucapan lidah”.
D. Syarat-Syarat Akad
Para ulama fiqh menetapkan, ada beberapa syarat umum yang arus
dipenuhi dalam suatu akad, disamping setiap akad juga mempunyai syarat-syarat
khusus.
Syarat-syarat
umum suatu akad adalah :
a)
Pihak-pihak
yang melakukan akad dipandang mampu bertindak menurut hokum (mukallaf).
Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad
yang dilakukan oleh orang yang kurang waras (gila) atau anak kecil yang belum
mukallaf secara langsung, hukumnya tidak sah
b)
Obyek
Akad, diakui syara’. Obyek akad harus memenuhi syarat :
1)
Berbentuk
harta
2)
Dimiliki
seseorang
3)
Bernilai
harta menurut syara’
Dengan
demilian, yang tidak bernilai harta menurut syara’ tidak sah seperti khamar
(minuman keras.
Disamping itu, Jumhur fukaha selain ulama Mazhab Hanafi mengatakan,
bahwa barang najis seperti anjing, babi, bangkai, dan darah tidak boleh dijadikan
obyek akad, karena barang najis tidak bernilai menurut syara.
Menurut mustafa az-Zarqa harta waqaf pun tidak dapat dijadikan sebagai
obyek akad. Sebab harta wakaf bukanlah hak milik yang dapat diperjualbelikan.
Harta wakaf adalah hak milik bersama kaum muslimin, bukan milik pribadi
seseorang. Dengan demikian, harta wakaf sebagai obyek jual beli tidak sah. Lain
halnya menurut Mustafa az-Zarqa’ sewa menyewa
harta
wakaf diperbolehkan,karena harta wakaf itu tidak berpindah tangan secara penuh
kepada pihak penyewa. Obyek akad juga harus ada dan dapat diserahkan ketika
berlangsung akad, karena memperjualbelikan sesuatu yang belum ada dan tidak
mampu diserahkan hukumnya tidak sah.
Contohnya
seperti menjual padi yang belum berbuah, menjual janin yang masih dalam
kandungan.
Menurut fukaha, ketentuan diatas tidak berlaku terhadap ‘aqd salam (indent),
istishna’ (pesanan barang), dan musaaqah (transaksi antara pemilik kebun dan
pengolahnya). Pengecualiaan ini dibenarkan atas dasar,bahwa akad- akad semacam
itu dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat kebiasaan yang dilakukan oleh
anggota masyarakat.
c)
Akad
itu tidak dilarang oleh nash syara’.Atas dasar ini, seorang wali (pemelihara
anak kecil), tidak dibenarkan menghibahkan harta anak kecil tersebut.
Seharusnya harta anak kecil itu dikembangkan , dipelihara, dan tidak diserahkan
kepada seseorang tanpa ada imbalan (hibah). Apabila terjadi akad, maka akad itu
akan batal menurut syara’.
d)
Akad
yang dilakukan itu mememunuhi syarat- syarat khusus dengan akad yang
bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat-syarat umum. Syarat-syarat khusus,
umpamanya: syarat jual- beli berbeda dengan syarat sewa menyewa dan gadai.
e)
Akad
itu bermanfaat.
f)
Ijab
tetap utuh smpai terjadi kabul.
g)
Ijab
dan kabul dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan
proses suatu transaksi.
Syarat-Syarat Akad sebagai berikut:
1. Kedua orang yang melakukan akad
cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak,
seperti orang gila, orang yang berada di pengampuan , dan karena boros.
2.
Yang di jadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.
Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
4.
Janganlah akad itu
akad yang dilarang oleh syara’ , seperti jual beli mulasamah. Akad dapat
memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai
imbalan amanah (kepercayaan).
5.
Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi
kabul. Maka apabila orang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka
batallah ijabnya.
6.
Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang
yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi
batal.[10]
E. Macam-Macam Akad
Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad yang
didasarkan atas sudut pandang masing-masing, yaitu:
1.
Berdasarkan
ketentuan syara’
a.
Akad
sahih, yaitu akad yang memenuhi unsur dan
syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan syarat
sebagaimana telah disebutkan di atas, maka akad tersebut masuk dalam kategori
akad sahih. akad yang
telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini
adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat
pada pihak-pihak yang berakad.
b. Akad ghairu sahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syarat-syaratnya, sehinga seluruh akibat hukum akad itu tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
Dengan
demikian, akad semacam ini tidak berdampak hukum atau tidak sah.
Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan antara akad fasid dan
akad batal, dimana ulama jumhur tidak membedakannya. Akad batal adalah akad yang
tidak memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad yang
dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasid adalah
akad yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara’, seperti
menjual narkoba, miras dan lain-lain.
2.
Berdasarkan
penamaannya, dibagi menjadi:
a.
Akad
yang sudah diberi nama oleh syara’, seperti jual-beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b.
Akad
yang belum dinamai oleh syara’, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3.
Berdasarkan
zatnya, dibagi menjadi:
a.
Benda
yang berwujud (al-‘ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh indra kita,
seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.
b.
Benda
tidak berwujud ( ghair al-‘ain), yaitu benda yang tidak dapat kita indra
dengan indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan, seperti informasi, lisensi,
dan lain sebagainya.[11]
Berakhirnya Akad
1. Berakhirnya masa berlaku akad itu,
apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang
berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3. Dalam akad yang bersifat mengikat,
suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
a)
Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan
salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
b)
Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c)
Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
d) Tercapainya tujuan akad itu sampai
sempurna.
4. Salah satu pihak yang berakad
meninggal dunia.
Hikmah Akad
a) Adanya ikatan yang kuat antara dua
orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
b)
Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan
perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
c) Akad merupakan ”payung hukum” di
dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau
memilikinya.[12]
Tujuan Akad
Kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang melakukan
perbuatan dalam keadaan sehat akal dan bebas menentukan pilihan (tidak dipaksa)
pasti memiliki tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan perbuatan itu. Oleh
Karen aitu, tujuan akad menduduki peranan penting untuk menentukan suatu akad
dipandang sah atau tidak, halal atau haram. Ini semua berkaitan dengan hubungan
niat dan perkataan dalam akad. Bahkan perbuatan perbuatan bukan akad pun dapat
dipengaruhi halal dan haramnya dari tujuan yang mendorong perbuatan itu
dilakukan. Misalnya, tidur siang, apabila motifnya adalah agar pada malam
harinya tahan tidak tidur untuk bermain judi, maka tidur siang itu menjadi
haram.[13]
Masalahnya adalah, jika suatu tindakan tidak mempunyai tujuan yang
jelas, apakah tindakan tersebut tidak mempunyai akaibat hukum? Misalnya,
seseorang berjanji akan memberikan sesuatu kepada orang lain, apakah janji itu
mempunyai akibat hukum, dengan pengertian orang itu dapat dituntut untuk
memenuhi janjinya?. Dalam masalah seperti ini, pendapat Fuqaha’ bermacam-macam,
ada yang mengatakan mempunyai akibat hukum, seperti Ibnu Syubrumah yang mengartakan
bahwa semua janji mempunyai akibat hukum, orang yang berjanji dapat dipaksa
untuk memenuhinya. Menurut pendapat kebanyakan Fuqaha’, janji yang tidak jelas
tujuannya itu tidak mempunyai akibat hukum duniawi, meskipun akan
diperhitungkan di hadapan Allah di akhirat kelak.
Hal tersebut berbeda dengan janji yang tujuannya jelas. Misalnya,
apabila seseorang menyuruh orang lain untuk memberikan suatu barang kepada seseorang,
dengan ketentuan apabila orang yang menerima barang tidak mau membayar
harganya, oaring yang menyurh itu bejanji akan membayarnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan akad memperoleh
peran
yang
amat penting, apalagi dalam hal muamalat/bisnis. Tanpa ada tujuan yang
jelas,
secara otomatis tidak ada yang dapat dilakukan dari terbentuknya akad
tersebut.
Sehingga akad tersebut dipandang tidak sah dan tidak memiliki
konsekuensi
hukum. Dari sini, diperlukan adanya syarat-sayarat tujuan akad
sebagai
berikut:
1.
Tujuan
akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yag bersangkutan
tanpa akad yang diadakan.. tujuannya hendaknya baru ada padasaat akad diadakan.
2.
Tujuan
harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad. Misalnya akad
untuk menyewa rumah selama lima tahun untuk diambil manfaatnya. Jika belum ada
lima tahun rumah itu telah hancur maka akadnya menjadi rusak karena hilamgnya
tujuan yang hendak dicpai.
3.
Tujuan
akad harus dibenarkan oleh syara’. Jadi tidak boleh melakukan akad dengan
tujuan yang melanggar ketentuan agama. Misalnya akad untuk melakukan patungan
uang sebagai modal bisnis sabu-sabu.
F.
Pengertian
Dan Macam- Macam Khiar
1.
Pengertian
Khiar
Menurut kamus besar bahasa arab al-munawwir,
kata-kata khiyar dapat di jumpai dengan kata-kata “الحيار ولاختيار ‘’
artinya pilihan. Sedangkan ‘’
حر
ية ‘’
artinya kebebasan memilih dan ‘’احتيارا
‘’ dengan kemauan sendiri serta ‘’ artinya kebaikan dikiuti kata-kata “ الخيرية ‘’
berdasarkan kemauan sendiri.
Jadi khiyar secara bahasa dapat diartikan
‘’pilihan, kebebasan memilih, kemauan sendiri, kebaikan, berdasarkan kemauan
sendiri.
Sedangkan
menurut istilah yang disebutkan didalam kiitab fiqih islam yaitu ‘’khiyar
artinya boleh memilih antara dua, meneruskan aqad jual beli atau di urungkan,
(ditarik kembali tidak jadi jual beli).
Diadakannya
khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli agar dapat memikirkan
kemaslahatan masing-masing lebih jauh. Supaya tidak terjadi penyesalan di
kemudia hari, lantaran merasa tertipu.
Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan:
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْخِيَارُبَيْنَ إِمْضَاءِ الْعَقْدِ وَعَدَمِ
إِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رفقا لِلْمُتَعَا قِدَيْنِ
Artinya : hak pilih
bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk
melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi
masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Pendapat Ahli Fiqih
a. Menurut ulama
fiqih pengertian khiyar yaitu
انيكون
للمتعاقدالحق في امضاء العقد او فسخه ان كا ن الخيار شرط اورءسة او عيب
او ان يختاراحد البيعين ان كان الخيارخيار ثعيين
Artinya sesuatu
keada yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan aqadnya, yakni
menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib
atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.’
b. Menurut dr. H.
Hendi suhendi, m.si.
Yatiu menurut agama islam di bolehkan memilih
atau melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
c. Menurut
asy-syekh muhammad bin qosim al-ghozali
Khiyar adalah bagi penjual dan pembeli ada hak
khiyar (memilih) antara meneruskan atau membatalkan jual belinya.
Maksudnya yaitu bagi penjual dan pembeli ada
hak tetap untuk memilih beberapa macam aqad jual beli di tempatnya (khiyar
majlis) seperti pesanan (salam), selama keuanya belum terpisah artinya suatu
masa tidak terpisah kedua belah pihak menurut kebiasaan.
d. Menurut
kompilasi hukum ekonomi syariah
Sedangkan pengertian khiyar menurut
kompilasi hukum ekonomi syariah (khes) pasal 20 (8) adalah hak pilih bagi
penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang
dilakukannya.
2.
Macam-
macam Khiar
a) Khiyar Syarat
Yaitu mengadakan khiyar dengan mengambil batas
waktu satu, dua atau tiga hari atau mungkin lebih sesuai kesepakatan kedua
belah pihak. Maka jika telah habis waktunya maka gugurlah dan jual belinya
dianggap positif, tidak bisa dibatalkan lagi. Hal ini berdasarkan hadits Nabi
SAW;
عن ابن عمر ان النبي صلى الله عليه وسلم قال:كل
بيعين لا بيع بينهما حت يتفرقا الابيع الخيار.
Dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya Nabi SAW
bersabda: “setiap penjual dan pembeli tidak ada jual beli di antara mereka
sampai keduanya berpisah kecuali khiyar.”
Hadits ini menunjukkan selama belum berpisah
keduanya, maka masih bisa membatalkan jual belinya, kecuali jika ada khiyar,
termasuk waktu tertentu yang disepakati kedua belah pihak.
b) Khiyar
masyru’
(disyari’atkan) dan khiyar rusak
1.
Khiyar masyru’
Yaitu khiyar
yang ditetapkan batasan waktunya. Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah
SAW. tentang riwayat Hibban Ibn Munqid yang menipu dalam jual-beli, kemudian
perbuatannya itu dilaporka kepada Rasulullah SAW ., lalu beliau bersabda:
اذابايعت فقل: لاخلابةولى الخيار ثلاثة ايام.
“jika kamu
bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selama
tiga hari” (HR. Muslim)
2.
Khiyar rusak
Menurut
pendapat paling masyhur dikalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,
khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan
“saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar selamanya.” Perbuatan ini
mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan).
c) Khiyar Majlis
Khiyar majlis yaitu memilih antara jadi dan tidak
selama masih dalam satu majlis, sebagaimana dalam hadits dinyatakan:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا...
“si penjual dan
pembeli boleh mengambil khiyar selama keduanya belum berpisah.”
Maksudnya, jika sudah berpisah maka tidak ada
khiyar, sedangkan ukuran majlisnya itu relatif, bisa kecil seperti keluar dari
rumah, bisa lebih besar seperti keluar dari toko atau mall.
G. Konsekensi Hukumnya
Hukum akad pada masa khiyar
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi
akad pada jual-beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya
khiyar.
Adapun menurut ulama Malikiyah dalam riwayat
Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya
khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.[14]
Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika khiyar
syarat berasal dari pembeli, barang menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika
khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak penjual. Jika khiyar syarat
berasal dari penjual dan pembeli, ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar).
Adapun menurut
ulama Hanabilah, dari siapapun khiyar berasal, barang tesebut menjadi milik
pembeli. Jual-beli dengan khiyar, sama seperti jual-beli lainnya, yakni
menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka
mendasarkan pada hadits Nabi SAW. dari Iibn Umar:
من باع عبدا وله مال فماله للب ئع الا ان يشترط
المبتاع
“barang siapa
yang menjual hamba yang memiliki harta, maka harta tersebut milik penjual,
kecuali pembeli memberikan syarat.”
Pada hadits
tersebut, Rasulullah SAW. menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli dengan
adanya syarat.
PENUTUP
Dapat disimpulkan Akad ialah pertalaian ijab
(ungkapan tawaran disatu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan
penerimaan oleh pihak lain) yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak.
Dasar hukum
dilakukannya akad dalam Al-Qur’an adalah Surat Al-Maidah ayat yang artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu "
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa
melakukan isi perjanjian atau akad itu hukumnya wajib.
Tujuan akad
menduduki peranan penting untuk menentukan suatu akad dipandang sah atau tidak,
halal atau haram. Ini semua berkaitan dengan hubungan niat dan perkataan dalam
akad. Bahkan perbuatan perbuatan bukan akad pun dapat dipengaruhi halal dan
haramnya dari tujuan yang mendorong perbuatan itu dilakukan. Misalnya, tidur
siang, apabila motifnya adalah agar pada malam harinya tahan tidak tidur untuk
bermain judi, maka tidur siang itu menjadi haram.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Kencana, 2010)
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh
Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010)
Ahamd Azar
Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat,( Yogyakarta: UII Press, cet.
Ke-2, 2004)
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Kencana:2010)
Ghufron A.
Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2002)
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
http://chezam.wordpress.com/2009/10/14/makalah-tentang-akad/(di akses pada 06
September 2017)
M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada, 2003)
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah,
(Bandung : Pustaka Setia, 2006)
Rasjid,
Sulaiman, Fiqih Islam, (Bandung:
SINAR BARU ALGENSINDO. Bandung, 2006)
Syamsul
anwar, hukum perjanjian syari’ah (jakarta : garafindo, 2007)
[1]Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 75
[2]Abdul Rahman
Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 51.
[3]Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat,
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 15.
[4]Syamsul anwar,
hukum perjanjian syari’ah (jakarta : garafindo, 2007), hlm 68.
[5]Ibid
[6]M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 101.
[7]Rachmat Syafei,
Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2006, hlm. 43.
[8]Dimyauddin
Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Kencana:2010), hlm.51.
[9]Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 30.
[10]Abdul Rahman
Ghazaly, et.al, op.cit., hlm. 55.
[12]Ahamd Azar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat,( Yogyakarta:
UII Press, cet. Ke-2, 2004), hlm. 78-82.
[14]Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam,
(Bandung: SINAR BARU ALGENSINDO.
Bandung, 2006), hlm. 112.
ASSALAMUALAIKUM SAUDARA?
BalasHapusCOBA SAUDARA BERIKAN CONTOH AKAD SOHIH DAN AKAD GHORUL SOHIH DAN BERIKAN PENJELASANNYA DENGAN SINGKAT
assalamu alaikum akhi, disini Ana ingin memberikan pertanyaan,Seharusnya harta anak kecil itu dikembangkan , dipelihara, dan tidak diserahkan kepada seseorang tanpa ada imbalan (hibah). Apabila terjadi akad, maka akad itu akan batal menurut syara’.harta anak kecil manakah yang di maksudkan coba jelaskan berikan contohnya , dan apakah anak kecil itu termasuk harta?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus. Asslmu'alaikm.Wr.Wb
BalasHapusCoba saudara jelaskn dalil yg menjelaskn tentg AKAD dan coba jelaskn macam-macam AKAD menurut para ahli secara singkat
ASSALAMUALAIKUM Cuba saudara jelas perbedaan pendapat tentang akad bagi mujtahid 4
BalasHapus