Minggu, 03 September 2017

HARTA



   HARTA
logo


Makalah Fikih Muamalah


Disusun Oleh :
Nama                                      Nim

LISTON LIMBONG    1530400002



Dosen Pembimbing

ZILFARONI, S.Sos.I., M.A.




JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN PADANGSIDIMPUAN
T.A 2017

 


Assalamualaikum wr,wb.
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang yang telah melimpahkan nikmat dan hidayah-NYA kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang bejudul “Harta (amwal)” pada mata kuliah “fikih muamalah”.
Terimakasih pula kami haturkan kepada dosen pembimbing kami. Dan rekan-rekan semua yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi motifasi kedepan untuk mendpatkan hasil makalah yang lebih baik lagi.
Semoga makalah ini bermanfaat, salah dan khilaf mohon dimaafkan karena kesempurnaan hanya milik Allah semata.
Wassalamualaikum wr,wb.
                                                                                   Padangsidimpuan,   september 2017

                                                                                                    Penyusun



DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..........................................................................................................   i
Daftar Isi....................................................................................................................   ii
BAB I
Pendahuluan...............................................................................................................   1
BAB II
Pembahasan................................................................................................................   3
A.    Harta..............................................................................................................   3
B.     Kedudukan Harta..........................................................................................   7
C.     Pembagian Harta............................................................................................   7
D.    Fungsi Harta................................................................................................... 12
BAB III
Penutup......................................................................................................................   14
Daftar Pustaka……………………………………………………………………....   15    














BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan umat manusia, harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting. Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia. Dengan harta, manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang primer, sekunder, bahkan tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan terjadi interaksi sosial atau hubungan horizontal (manusia). Sebab harta ini didapat setelah terjadi hubungan timbal balik antar manusia, atau biasa dikenal dengan kerja sama. Kerja sama dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, yaitu harta.
Tidak ada larangan dalam mencari harta baik konvensional maupun syariah, semua sama-sama menganjurkan kepada manusia untuk mencari harta. Harta bagi manusia merupakan dzat yang sangat berharga. Meskipun terkadang ada sekelompok orang yang tidak menganggap itu berharga karena mungkin mereka telah memiliki sesuatu yang lebih berharga. Singkatnya, penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif, tidak mengikat. Sebab tergantung siapa yang menilainya. Bagi orang miskin, sepeda motor merupakan harta yang paling berharga. Namun tidak bagi orang kaya. Orang kaya menganggap mobil mewah lah harta yang paling berharga. Itulah sebabnya mengapa penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif. Menyangkut sistem pembagian harta, dilihat dari subyek yang membaginya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara Islami dan konvensional.
Dua hal tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda dalam membagi harta. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentangkonsephartadalamfiqihmuamalat.Kesempurnaan agama islam dapat dilihat dimana syariat islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan mengglobal permasalahannya.
Segalabentukperaturanaqidah, hukum, dansyariahtentunyasudahdituangkankedalamkitab al-Qur’an sebagaituntunanumatislamdalammenjalanikehidupan. Kesempurnaanajaranislamtelah Allah tuangkankedalamfirman-Nya:

لْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينً              ا
Artinya:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dantelah Ku-ridai Islam itujadi agama bagimu.”

Dalam masalah muamalah, al-Qur’an memberikan Qawa’id Al-‘Ammah (kaidah-kaidah umum) agar manusia dapat mengembangkan berbagai transaksi yang terjadi diantara mereka. Diantara pokok pembahasan bidang muamalah yang sangat urgen adalah mengenai harta. Harta menjadi masalah sentral dalam kehidupan manusia.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.        PengertianHarta
2.        PembagianJenisHarta
3.        FungsiHarta

C.       MANFAAT DAN TUJUAN
1.        Mengetahui pengertian Harta
2.        Mengetahui jenis jenis Harta
3.        Mengetahui fungsi harta

D.       BatasanMasalah

Mengingat begitu banyak dan luasnya materi yang membahas tentang Harta(amwal) maka kami tim penulis membuat batasan permasalahan, ada pun ruang lingkup pembahasan sesuai dengan yang tercantum didalam rumusan masalah.

 

E.        MetodePenulisan

Ada pun metode yang kami gunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan metode kepustakaan yakni menggunakan buku-buku perpustakaan sebagai bahan referensi dan internet web search.

 


 

BAB II
PEMBAHASAN

A.            HARTA

1.             PengertianHarta (Amwal)


Dalam bahasa Arab harta disebut dengan sebutan al-mal. Berasal dari kataمَالَ-يَمِيْلُ-مَيْلاً  yang mempunyai arti condong, cenderungdan miring.al-mal juga bias disebut hal yang menyenangkan manusia, yang mereka pelihara baik itu dalam bentuk materi, maupun manfaat. Begitu berharganya sebuah harta sehingga banyak manusia yang cenderung ingin memiliki dan menguasai harta.[1]
Sedangkan menurut istilah syar’I harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hokum syara’ (hokum islam), seperti jual-beli (al-bay), pinjam-meminjam (‘ariyah), konsumsi dan hibah atau pemberian. Beradasarkan pengertian tersebut. Maka, segala sesuatu yang digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari disebut dengan harta. Seperti uang, tanah, rumah, kendaraan, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil peternakan, perkebunan, dan juga pakaian semuanya termasuk dalam kategori al-amwal.[2]
Adapunsecaraistilahahlifiqih, hartayaitu:
1.      Menurut Ulama Hanafiyah, Segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak dan melenyapkannya.
2.      Menurut Ulama Madzhab Maliki, Harta adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya dan sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ‘uruf (adat).
3.      Menurut Ulama Madzhab Syafi’i, Harta adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya dan bernilai.
4.      Menurut Ulama Madzhab Hambali, Harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi dan dilindungi undang-undang.[3]

Ibnu Asyr mengatakan bahwa, “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki”.
Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah ialah sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.[4]
Maksud pendapat di atas, definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam kategori sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari. Begitu juga tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak dapat diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara konkrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Dengan demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang memenuhi dua kriteria :
Pertama, sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya. Kedua, sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit (a’ayan) seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang.
Menurut jumhur ulama’ fiqh selain Hanafiyah mendefinisikan konsep harta sebagaiadalahseagalasesuatu yang bernilaidanmestirusaknyadenganmenguasainya.
Dari pengertian di atas, jumhur ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut jumhur ulama’ dalam pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya. Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan Jumhur Ulama’ selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-manfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang konkrit, dan tidak berlaku jika hanya kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa harta, yaitu sesuatau yang mempunyai arti (al-qimah), sesuatu yang mempunyai manfaat dan sesuatu yang diperoleh dengan usaha tertentu.

2.      PerspektifHartaDalamFiqihMuamalat

Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam salah satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok). Yang terdiri atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Dalam ayat-ayat al-Qur’an, harta memiliki kedudukan antara lain:
1)      Harta sebagai amanah (titipan) dari allah SWT manusia hanyalah pemegang amanah untuk mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Sedangkan pemilik harta sebenarnya tetap pada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah yang artinya:“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) hartanya mendapatkan pahala yang besar”. (QS. Al-Hadid : 7) 

2)      Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati. Firman Allah yang artinya: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imron : 14)

3)      Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran islam ataukah tidak Allah berfirman yang artinya:“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan di sisi Allahlah pahala yang besar”. (QS. At-Taghabun : 15)

Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik. Hal ini berarti Islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin, karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah SWT sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas. Di samping itu dalam pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.

Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk:[5]
Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun.Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas (ihrazu al-mubahat). Di samping itu juga harta bebas bisa diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu dan rerumputan di hutan rimba, dan menggali barang tambang yang berada diperut bumi selama belum ada pihak yang menguasinya, baik individu maupun negara.

Kedua, memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya,, dengan arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli.

B.            KEDUDUKAN HARTA

Dijelaskan dalam al-Quran bahwa harta merupakan perhiasan hidup. Allah berfirman Qs. Al-kahfi: 46 yang artinya
“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”
Ayat ini menjelaskan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan. Allah juga menjelaskan di dalam al-Quran Qs. Al-Maidah ayat 18 yang artinya
“Dan kepunyaan Allahlah kerajaan dilangit, dibumi, dan diantara keduanya, dan kepada Allahlah kembali segala sesuatu.”
Dari penjelasan ayat-ayat diatas bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak dari segala sesuatu yang dimilikinya selama ini, tetapi dibatasi oleh hak-hak Allah sehingga wajib baginya untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk berzakat dan ibadah lainnya.[6]

C.           PEMBAGIAN HARTA

Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:

1.      Harta Mutaqawwin dan Ghair Mutaqawwin

a.       Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’ yaitu semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Sebagai contoh: kerbau halal dimakan oleh umat muslim, tetapi kerbau tersebut disembelihnya tidak sah menurut syara’, misalnya dipukul, ditembak, dll.
b.      Harta ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil menurut syara’ yaitu kebalikan dari harta mutaqawwin, yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaannya. Contohnya: sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwin karena memperolehya dengan cara yang haram.

FaedahPembagian
1)      Sahdan Tidaknya Akad
Harta mutaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas muamalah, seperti hibbah, pinjam meminjam, dll. Sedangkan harta ghairmutaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermuamalah. Pendapat ini disampaikan oleh ulama Hanafiyah.
2)      Tanggung jawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta mutaqawwim, maka ia bertanggung jawab untuk menggantinya. Akan tetapi, jika merusak harta ghairmutaqawwim, ia tidak bertanggung jawab untuk menggantinya. Menurut ulama Hanafiyah, jika merusak ghairmutaqawwim, ia tetap bertanggung jawab, sebab harta tersebut dipandang mutaqawwim oleh non muslim. Selain Hanafiyah berpendapat bahwa, harta ghairmutaqawwim tetap dipandang mutaqawwim sebab umat non muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.[7]

2.      Harta Mitsli dan Harta Qimi

a.       Harta mitsli ialah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Jadi, harta mitsli adalah harta yang ada imbangannya (persamaan). Seperti harta yang jenisnya diperoleh di pasar (secara persis).
Harta mitsli terbagi atas empat bagian, yaitu harta yang ditakar seperti gandum, harta yang dihitung seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter seperti bahan pakaian, dan papan.
b.      Harta qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya, karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan. Jadi,harta qimi adalah harta yang tidak ada imbangannya secara tepat. Seperti harta yang jenisnya sulit di dapatkan di pasar, bisa di peroleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.


3.      Harta Istihlak dan Harta Isti’mal

a.       Harta istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta istihlak dibagi menjadi dua, ada yang istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
1)      Harta istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar, maka habislah harta yang berupa kayu itu.
2)      Harta huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Misanya uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, tetapi hanya pindah kepemiliknya.
b.      Harta isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dll.
Perbedaan dua jenis harta ini adalah bahwa harta istihlak habis satu kali digunakan, sedangkan harta isti’mal tidah habis dalam satu kali pemanfaatan.[8]


4.      Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul

a.       Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lain. Seperti emasperak, perunggu, pakaian, kendaraan, dll.
b.      Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dll. Istilahnya benda bergerak dan benda tetap.
Dalam hukum perdata positif, harta manqul dan qhair manqul disebut dengan istilah benda bergerak dan benda tetap.


5.      Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur

a.         Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk (yang dimiliki) terbagi manjadi dua macam yaitu:

1)      Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang di kontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seseorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2)      Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan pabrik tersebut diurus bersama.
3)      Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik tersebut diurus bersama.[9]

b.         Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya sesuai dengan kaidah. Sesuai dengan sabda Nabi SAW:“Barang siapa yang menghidupkan tanah(gersang),hutan milik seseorang, maka ia yang paling   berhak memiliki”
c.         Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum,seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan, dll.

6.      Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi

a.       Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, tepung, dll.
b.      Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja, dll.[10]

7.      Harta pokok dan hasil (tsamarah/buah)

a.       Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya harta yang lain.
b.      Harta hasil (tsamarah/buah) ialah harta yang terjadi dari harta yang lain.

8.      Harta Ain dan Dayn
a.         Harta ain ialah harta yang berbentuk benda yang kelihatan, seperti rumah, pakaian, beras, jambu, dan kendaraan (mobil).
Harta ini terbagi dua:
1)      Harta ain dzati qimah, yaitu harta yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai.
Harta ain dzati qimah meliputi:
                                                                                i.            Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya.
                                                                              ii.            Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya,
                                                                            iii.            Benda yang dianggap harta yang ada sebangsanya.
                                                                            iv.            Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari seumpamanya.
                                                                              v.            Benda yang dianggap harta yang berharga dan dapat dipindahkan (bergerak).
                                                                            vi.            Benda yang dianggap harta yang berharga dan tidak dapat dipindahkan (benda tetap).
2)      Harta dayn ialah sesuatu yang berada dalam tanggung jawab, seperti uang yang berada dalam tanggung jawab seseorang.
Masalah ain dan dayn, meliputi tiga pembahasan:
a)      Posisi hutang dari bagian-bagian harta dan definisi dayn
b)      Natijah-natijah yang hasil dari membedakan ain dan dayn.
c)      Nadhariyah dzimmah dan keistimewaan-keistimewaannya.[11]
9.      Harta khas dan ‘am
a.    Harta khas ialah harta pribadi, tidak bercampur dengan harta yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b.    Harta ‘am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya.[12]

D.      FUNGSI HARTA

Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat tersebut. Fungsi harta amat banyak, baik kegunaan dalam hal baik, maupun kegunaan dalam hal yang jelek. Diantara sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut :
a.       Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah diperlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah, dan yang lainnya.
b.      Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah, sebab kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
c.       Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya.
d.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
e.       Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu tanpa modal akan terasa sulit, misalnya, seseorang tidak bisa kuliah diperguruan tinggi, bila ia tidak memiliki biaya.
f.       Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan. Adanya orang kaya dan miskin yang saling membutuhkan sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan bercukupan.
g.      Untuk menumbuhkan silaturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan, misalnya Ciamis merupakan daerah penghasil galendo, Bandung merupakan daerah penghasil kain, maka orang Bandung yang membutuhkan galendo akan membeli produk orang Ciamis tersebut, dan orang Ciamis yang memerlukan kain akan membeli produk orang Bandung. Dengan begitu, terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan.[13]



            
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dalam bahasa Arab harta disebut dengan sebutan al-mal. Berasal dari kata مَالَ-يَمِيْلُ-مَيْلاً  yang mempunyai arti condong, cenderung dan miring. al-mal juga bias disebut hal yang menyenangkan manusia, yang mereka pelihara baik itu dalam bentuk materi, maupun manfaat. Begitu berharganya sebuah harta sehingga banyak manusia yang cenderung ingin memiliki dan menguasai harta.
Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:
1.      Harta Mutaqawwin dan Ghair Mutaqawwin
2.      Harta Mitsli dan Harta Qimi
3.      Harta Istihlak dan Harta Isti’mal
4.      Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul
5.      Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
6.      Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
7.      Harta pokok dan hasil (tsamarah/buah)
8.      Harta Ain dan Dayn
9.      Harta khas dan ‘am

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly, dkk., FIQH MUAMALAT, (Jakarta: PREMEDIA GROUB, 2010)
Adiwarman A. Karim, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004)
DimyauddinDjuawaini, PengantarFiqhMuamalah, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2008)
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002)
Syafei, Rachmat, Fiqih Muamalat Cetakan 3,  (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006)
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, PENGANTAR FIQH MU’AMALAH, edisi kedua, (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997)
Mas’adi, Ghufron, Fikih Muamaah Kontekstuaal, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2002)
                                                                                                                                               


[1]DimyauddinDjuawaini, PengantarFiqhMuamalah, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2008), hlm. 34-36.
[2]Ghufron A. Mas’adi, FiqhMuamalahKontekstual, (Jakarta: Raja GrapindoPersada, 2002), hlm. 10.
[3]Abdul Rahman, dkk, FiqhMuamalat, (Jakarta:KencanaPrenada Media Group, 2010), hlm. 18-19.
[4]Syafei, Rachmat, FiqihMuamalatCetakan 3,  (Bandung: CV PustakaSetia, 2006), hlm. 22.
[6]Adiwarman A. Karim, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 123.
[7]Op. Cit, Syafei, Rachmat, hlm. 33.
[8]Abdul Rahman Ghazaly, dkk., FIQH MUAMALAT, (Jakarta: PREMEDIA GROUB, 2010), hlm. 31-35.
[9]http://hadypradipta.blog.ekonomisyariah.net/2009/01/06/fiqih-muamalah/
[10]Mas’adi, Ghufron, Fikih Muamaah Kontekstuaal, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 57.

[11]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, PENGANTAR FIQH MU’AMALAH, edisi kedua, (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997), hlm. 169.
[12]Op. Cit , Abdul Rahman Ghazaly, dkk, hlm. 35-38.
[13]Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 27-29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar